Kamis, 04 Agustus 2016

SARTI

Karya : Mohamad Yunus


(Kandangan - Kediri, tahun 1936)

      Wanita itu mengernyit kesakitan. Kadang berteriak, kadang menangis. Butiran-butiran keringat memenuhi leher dan wajahnya yang memerah.
      "Sakit mbok..." keluhnya.
       "Iyo nduk, ditahan yo. Sebentar lagi bayimu sudah akan lahir".
       "Nggih mbok..." jawab Sarti, nama perempuan itu saat si mbok yang dukun beranak itu mengelap keringat di dahinya. Sudah 3 hari ini Sarti nglarani (merasakan sakit dan mual yang dirasakan tiap perempuan menjelang melahirkan). Sementara Kardiman suaminya, dengan telaten mendampingi istrinya itu menyambut kelahiran anak pertama mereka.

***

(Dua tahun kemudian..)

          Air di kali Konto pagi itu bening dan terasa dingin. Dibawah rerimbunan pohon bambu di tepi sungai itu tampak Sarti dan yu Wagirah tengah asyik mencuci pakaian dan mususi (mencuci) beras. Mereka sesekali terdengar mengobrol dan bersenda gurau, terkadang diselingi nembang lagu-lagu Jawa. Sesaat obrolan mereka terhenti.
          Dari jalan setapak dibalik rumpun bambu tampak mbah Jono tengah berjalan sembari memanggul cangkulnya. Melihat tetangganya itu, Sarti menyapa, "Ke sawah mbah ?"
          "Iya nduk, wayahe nampeg winih (menebar bibit padi)" jawab mbah Jono.
          "Di kelurahan kok ramai ada acara apa tho mbah ?" Yu wagirah ikutan menyahuti.
Sambil membetulkan capilnya, mbah Jono memindahkan cangkul ke pundak yang satunya.
          "Kata pak lurah Kerto akan ada perayaan. Perayaan apa mbah juga kurang tahu. Tapi menurut si Ngaimo, katanya sih persiapan acara nyadran hari Jumat pahing lusa. Pak lurah nanggap ringgit (wayang kulit). Ini kan bulan Suro tho nduk.."
          Sesaat setelah mbah Jono berlalu, kedua perempuan itupun mengemasi keranjang mereka, bersiap untuk pulang. Mereka beriringan pulang ke rumah mereka masing-masing.

          Pagelaran wayang kulit di balai desa malam itu berlangsung meriah. Tadi siang juga sudah digelar acara tayuban. Puluhan penari atau tandak pilihan dari penjuru Kediri dan Nganjuk didatangkan. Acara dihadiri oleh pak Wedono, asisten Wedono selaku pangreh projo, undangan khusus dari kaonderan (kecamatan) Ngantang, Pujon, Ngoro, Bareng, Pagu, Gurah dll, termasuk orang-orang lokal keturunan Madura dan Tionghoa, selain tentunya warga setempat. Kardiman dari tadi sore sudah pamit mau nonton wayang. Tinggallah Sarti sendirian dirumah bersama Sumarni, anaknya yang kini sudah mulai besar, montok dan lucu. Tapi sudah dua hari ini Sumarni kecil terbaring sakit. Tubuhnya panas terserang penyakit campak. Suara gamelan wayang seolah mengiris-iris hati Sarti menyaksikan buah hatinya itu tidak kunjung mereda panas tubuhnya.
          Jam 2 malam si anak mulai kejang-kejang. Dengan panik digendongnya anak kecil itu oleh ibunya untuk minta tolong pada para tetangga.
          "Kenapa tidak dari kemarin-kemarin diperiksakan ?" tanya pak mantri Badrun.
          "Keadaannya sudah sangat lemah sekarang Bu.."  Sarti menangis sesenggukan.
Dan keesokan paginya Sumarni kecil itupun harus menyerah oleh takdir. Tuhan telah berkenan mengambilnya kembali. Sarti histeris. Menangis sepanjang hari. Begitupun dengan suaminya yang juga sangat terpukul dengan kepergian putri mereka satu-satunya.
          Berhari-hari, berminggu-minggu, Sarti masih saja didera kesedihan yang teramat dalam. Menangis dan menangis menjadi kesehariannya. Kardiman memang selalu ada untuk menghiburnya. Tapi bayangan Sumarni yang lucu dan menggemaskan itu tidak pernah bisa lepas dari pikirannya.
Hingga suatu siang, beberapa bulan sesudahnya, Sarti tak lagi sanggup berada diujung putus asa dan rasa frustrasinya.
          "Ceraikan aku mas !! Kumohon ceraikan aku.." Kardiman yang sedang menimba air di sumur belakang rumah itupun terlonjak kaget.
          "Sarti ? Istighfar !! Nyebut..." Dia mendekat merangkul istrinya. "Aku juga merasakan kesedihan yang sama Sarti. Dia juga anakku. Kita sama-sama kehilangan. Tapi apa harus dengan cara seperti ini kita menghadapi cobaan ?" Sarti melepas rangkulan itu dan melangkah menjauh.
          "Nggak mas. Aku tidak bisa. Sakitku teramat sangat saat melahirkannya. Kasih sayangku padanya telah kutumpahkan seutuhnya. Tapi akhirnya apa ??" Sarti kembali menangis. Air matanya kian deras. "Aku minta cerai !!"

***

 Senja ini matahari menebarkan warna keemasannya. Sangat indah menerobos sela-sela ranting pepohonan randu. Angin sore yang sejuk terasa lembut mengusap wajah. Tapi semua itu sangat kontras dengan wajah cantik Sarti yang justru kelam membatu. Dua buah tas berisi pakaian dijinjingnya melewati pematang kebun singkong milik pakde Tembel. Rambut panjang yang biasanya dijalin rapi itu kini dibiarkan lepas tergerai tanpa diikat. Ia berjalan gontai ke arah tertek dowo di desa Tambi. Sebuah jembatan tua yang panjang, yang dibawahnya kerap dilewati aliran lahar gunung Kelud. Sesampainya diatas jembatan itu, perempuan itu berdiri terpekur. Di sisi utara sana samar-samar terlihat asap hitam yang keluar dari cerobong kereta api. Terdengar suaranya kian mendekat. Kereta uap bikinan eropa milik jawatan Nederlands Indische Spoorweg Maarschappij itu hendak menuju Kediri melewati Pare melintas diatas jembatan sepur 200 meter dari tempat ia berdiri. Kembali butir-butir bening mengalir di kedua sudut matanya. Selepas gerbong terakhir menghilang dari pandangannya, ia menarik nafas dalam-dalam. Bibirnya bergetar dan berucap lirih, "Gusti, kulo nyuwun pangapunten (Tuhan, aku mohon ampunanMu)".

Tidak. Dia tidak sedang ingin mengakhiri hidupnya diatas jembatan itu. Dia hanya ingin berusaha menghapus sepenggal cerita dari kehidupannya. Sepenggal waktu dalam sebuah episode takdir yang teramat perih menurutnya. Dia hanya ingin dirinya terlahir kembali menjadi seseorang yang baru. Yang lain dari Sarti yang dulu. Diraihnya dua buah tas yang tadi tergeletak disampingnya. Dengan sekuat tenaga, sambil menjerit keras dan kedua mata terpejam, dilemparkannya tas-tas itu ke dalam sungai yang tengah mengalir deras. Untuk sesaat dipandanginya tas pakaiannya itu terpantul-pantul diatas air sungai sampai akhirnya hilang di kelokan sebelah sana.

***


Dirumah gedek sederhana milik yu Tomblok itulah kini Sarti sementara menumpang. Yu Tomblok adalah kakak sulung Sarti. Orang-orang memang memanggil kakaknya itu dengan sebutan Tomblok, padahal nama aslinya adalah Parmi. Sarti kini mau tak mau harus bekerja serabutan untuk mencukupi kebutuhannya. Iapun sekarang kerja jadi makelar gaden (pegadaian). Menerima titipan orang-orang yang mau menggadaikan barang tapi tidak bisa menyetor sendiri ke kantor pegadaian, atau karena alasan malu. Sarti kadang juga menawarkan barang hasil lelangan berupa kain jarit, piring cangkir, mesin jahit, perhiasan emas dll, kepada orang-orang di pasar Kandangan. Ia tidak enak hati pada kakaknya itu kalau hanya bisa menumpang saja tanpa bisa membantu apa-apa. Tapi, ada  sesuatu yang tampak aneh sekarang pada diri Sarti. Janggal..

          "Ti, kamu ini macak (dandan) opo tho ? Ngisin-ngisini wae (bikin malu aja)" kata yu Tomblok pada suatu pagi saat Sarti hendak berangkat ke gaden.
          "Dandananmu itu lho.. kayak wong gak waras" sementara yang yang ditegur cuma tersenyum dan cepat-cepat berlalu.
Para tetangga juga memandang dengan aneh dan penuh tanda tanya tiap kali Sarti lewat di depan mereka.
          "Itu si Sarti kok sekarang jadi begitu ya, yu Ni ?" kata wak Min Gimbo satu ketika saat sarapan nasi pecel di warungnya mak Kaseni di pojokan embong Klilin belakang pasar.
          "Sejak pisah sama Kardiman, dia memang jadi begitu."  balas Mak Kaseni sambil memasukkan gorengan peyek kedalam toples.
          "Sebenarnya saya menaruh hati sama dia. Pengen saya ambil istri kalau dia mau. Wong saya ini ya duda" wak Min Gimbo cengar cengir.
          "Lha tapi dia kok seperti itu.."

***

(Kandangan - Kediri tahun 1970an)

          Menjalani kehidupan yang keras dan melewati berbagai pergolakan jaman telah merubah sosok Sarti menjadi seorang nenek-nenek. Jaman Jepang, kemerdekaan Indonesia 1945, agresi Belanda, jaman presiden Sukarno, periode Gestapu, hingga sekarang jaman pak Suharto, semua telah dilewati Sarti dalam kesendirian hidup yang dipilihnya sendiri. Di pasar Kandangan orang mengenalnya sebagai mbah Sarti makelar gaden. Siapa yang tidak kenal dengan sosok nenek yang nyentrik satu ini. Penampilannya sangat khas. Kaos oblong putih, celana panjang cutbray, rambut panjang putih yang selalu digelung/disanggul, sementara wajah keriputnya telah berpuluh tahun tidak mengenal bedak pupur. Dan yang lebih nyentrik lagi, di bibirnya selalu terselip rokok klobot cap Sriti kegemarannya.
          Begitulah. Sarti yang dulu semasa mudanya kalem dan cantik telah merubah dirinya menjadi sosok "wandu" (perempuan yang berperangai dan berpenampilan seperti laki-laki). Dengan sosok yang seperti itu, dia merasa nyaman-nyaman saja baik siang hari ataupun malam. Di pasar ataupun di emperan rumah pak Sahim. Yah, di teras rumah pak Sahim yang pedagang ayam itulah dia bertahun-tahun menghabiskan waktu malamnya untuk beristirahat. Hanya dengan menggelar kain sarung diatas kotak kurungan ayam yang terbuat dari bambu itulah, dia sudah bisa menikmati mimpi-mimpi dalam tidurnya. Jangan lagi bertanya soal kamar mandi. Cukuplah di babakan sungai di belakang warung mak Sianah.
          Mbah Sarti memang telah menjadi sosok yang unik. Sejak kematian anak perempuan satu-satunya dulu dia telah bersumpah untuk tidak akan menikah lagi sampai kapanpun. Dia trauma akan rasa sakit 3 hari 3 malam saat melahirkan. Sementara sebagai janda muda yang cukup cantik, ia seringkali dilirik laki-laki yang ingin memperistri dirinya. Lama-lama dia jengah juga setelah beberapa kali harus menolak laki-laki. Dan sebagai solusinya, ia terpaksa harus berdandan layaknya seorang pria agar tidak ada lagi yang berminat melamarnya.
Dia tidak perlu merasa sungkan pada para pedagang kawakan yang berada di pasar. Karena ia seolah sudah menjadi "danyang" disana. Pada Oei Ing Tjoet yang juragan minyak tanah, Lie To Han dan Wan Tie Ong  juragan sembako, tuan Salim orang Arab yang saudagar kain, Mat Hasan jagal sapi, wak Jarot pemilik warung rawon terkenal, mbah Sarti cukup akrab dengan mereka. Bahkan dengan cak Mat Klowor bandar dadu, cak Khoir tukang jamu yang jago sulap dan akrobat keliling sampai wak Dikun yang mantan begalpun ia biasa saja.

          "Diamput, rokokku entek (habis). Tuku rokok klobote nduk.." menggerutu mbah Sarti pada suatu siang. Mbak Zubaidah yang berdagang pracangan kecil-kecilan di bangu pasar itu segera mengambilkan rokok yang dimaksud.
          "Suamimu mana kok gak kelihatan ?" tanya mbah Sarti usai menyalakan rokoknya sembari meletakkan tumpukan kain jarit dan tempat kinangan berbahan kuningan.
          "Jum'atan mak"
          "Anakmu yang kecil itu sudah umur berapa ?" dipandanginya anak mbak Zubaidah yang sedang tidur diatas tumpukan karung gula merah.
           "Hampir dua tahun mak" jawab mbak Zubaidah dengan agak heran, karena semua orang tahu bahwa mbah Sarti memang kurang suka dengan anak kecil.
          "Kok tumben mak, memangnya ada apa ?" setelah dilihatnya mbah Sarti agak lama memperhatikan anaknya itu.
          "Aku tiba-tiba senang melihat anakmu ini. Lucu.."
          "Kurus item gitu kok dibilang lucu tho mak..?" mbak Zubaidah tertawa.
          "Kalau boleh, dia besok mau kuajak ke gaden. Mau kugendong.." mata mbah Sarti tiba-tiba seperti berbinar. " Siapa namanya ?"
          "Heri, mak. Heri Budiman"

***

          Hari-hari berikutnya orang-orang di pasar menjadi terbiasa melihat nenek itu mondar mandir menggendong anak kecil di punggungnya. Glantong - glantong.. Mereka kerap tersenyum melihat perubahan pada diri mbah Sarti. Karena mereka kebanyakan sudah tahu riwayat hidupnya. Kadang mbak Zubaidah kasihan melihat tubuh renta itu tersengal-sengal kecapekan. Belum lagi mbah Sarti selalu membelikan jajanan untuk si Heri kecil, sementara pendapatannya dari hasil makelaran tidak seberapa. Walaupun tiap hari oleh mbak Zubaidah dibekali uang jajan tapi tetap saja kurang.
Tidak jarang pula Heri kecil diajaknya ke sungai, kadang ditidurkan diatas kandang ayam milik wak Sahim, atau sekedar diajak nongkrong di kampung Sewan Etan yang disana banyak deretan warung-warung yang juga menyewakan kamar-kamar yang dihuni wanita-wanita panggilan..

***

(Kandangan - Kediri, tahun 1990an)

          Kawasan pemakaman Kebondalem sore itu terlihat sepi. Teduh dinaungi pohon-pohon kamboja. Hanya suara pucuk bambu yang tertiup angin dan kicau burung manyar dari kejauhan yang lamat-lamat terdengar. Laki-laki muda itu melangkah perlahan di antara deretan nisan-nisan. Ada yang bernama dan banyak pula yang tidak. Entah terhapus ataukah memang sengaja dipasang tanpa tulisan. Laki-laki itu tengah mencari makam seseorang. Matanya meneliti satu persatu nama yang tertera. Dia tidak tahu letak persisnya, tapi dari keterangan pak Aliyas tetangga kampungnya yang dikenal memiliki kelompok kesenian jaranan kemarin, juga dari ancar-ancar mbah juru kunci, kira-kira makam itu ada disekitar sini. Tapi sudah satu jam lebih dia mencari, tidak dijumpainya nisan dengan nama "Sarti".
          Laki-laki muda itu adalah Heri, anak kecil di pasar yang dulu sering digendong kemana-mana oleh perempuan tua yang saat ini sedang ia cari makamnya. Perempuan tua yang kukuh dengan pilihan hidupnya. Perempuan tua yang hafal makanan kesukaannya, telor asin. Yang dulu, ketika ia sudah dibelikan sebutir telor, tapi masih saja menangis minta dibelikan dua. Padahal uang bekalnya hanya Rp25, hingga nenek itu harus nombok Rp50 karena harga dua telor asin saat itu Rp75.
          "Rupane ganteng, atine bosok. Tak getne lak embuh..." (wajahnya ganteng, hatinya busuk. Kupukul dengan keras baru tahu..) kalimat mbah Sarti itu sering diceritakan ibunya Heri saat mengenang betapa dirinya dulu sewaktu kecil walaupun lucu tapi sering menjengkelkan.

Hingga bertahun-tahun kemudian Heri tetap saja belum dapat menemukan makam seseorang yang dihormatinya itu..


3 komentar:

  1. Ralat sedikit mas brow . tertulis di situ sewan etan . sebetulnya adalah sewan kulon yg sekarang kampung itu menjadi Gg Sunan Kali Jogo . suwun .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh begitu ya masbro. Jadi itu masih termasuk sewan kulon. Makasih masukannya mas Wawan Kopi.

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus