Sabtu, 29 Oktober 2016

Sisi Sebuah Hati

 





          Dia hanyalah seorang gadis yang biasa - biasa saja. Dia lebih suka diam dirumah daripada merambah alam atau menyusuri jalanan seperti saya. Saya selalu rindu padanya, ditengah hamparan padang Edelweiss ataupun di kegelapan rimba. Saya tidak berani mengkhianatinya. Saya terlampau sayang padanya untuk tega melukai hatinya. Saya rindu kedua mata bening menakjubkan itu. Saya juga rindu pada senyumnya yang manis. Alam seakan berhenti sejenak ketika ia tersenyum. Kadang terbersit dalam angan - angan saya, betapa indahnya andai saya bisa mencium tepat dimana senyum itu berasal. Mungkin tak akan ada bedanya lagi bumi dan nirwana. Merasakan kedalaman jiwanya, merasuk di kedamaian sukmanya, menjadikan semuanya satu.
Tapi...  ah tidak.
Terlalu indah untuk menjadi sebuah kenyataan. Gadis itu terlalu sempurna untuk orang seperti saya. Untuk bermimpipun saya tidak berani. Apalagi mencintainya. Dan kalau nanti dia keburu disambar pemuda lain saat saya berkelana di tengah hutan, itu mungkin bisa saja terjadi. Karena... saya belum pernah mengatakan padanya tentang perasaan saya. Ya, saya memang belum mengatakannya. Nanti saja... Tapi kalau nanti dia benar - benar disambar orang, apa boleh buat.. Mungkin juga dia tidak mencintai saya. Hati saya pasti perih, karena saya telah terlanjur mengagumi semua yang ada pada dirinya. Saya kagum pada cinta yang dimilikinya. Pada kesetiaannya, yang tak pernah goyah. Saya tahu, saya tidak punya kemampuan untuk mewujudkan mimpi - mimpinya.
Tetapi saya sangat sayang padanya. Kedengarannya klise.
Sungguh, saya senang melihat dia bahagia. Saya sudah merasa bahagia hanya dengan mengawasinya dari jauh. Dia mencintai saya atau tidak, dia akan selalu ada dalam hati saya..




               Kandangan, 1 Desember 1989